Bogor, TheJabodetabek.com — Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) berjanji untuk memberantas mafia tanah sebagai wujud komitmennya membela rakyat kecil.
Dalam realitanya, permasalahan mafia tanah merupakan hal yang kompleks mengingat praktik mafia tanah merupakan kejahatan yang telah lama ada dan langgeng di Indonesia.
Dari beberapa study peristiwa pertanahan, praktik mafia tanah banyak terjadi di lahan-lahan kosong dan telantar, khususnya di lereng-lereng gunung yang berstatus lahan garapan.
Adalah Budi Yusak Subroto, salah satu warga korban mafia tanah di kawasan Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.
Ditemui di lahannya di sebuah bukit di Jalan Tegal Luhur, Desa Megamendung, Jumat, 16 Agustus 2024, raut wajah Budi nampak tak mampu menyembunyikan kegelisahannya. Meski dikelilingi pohon-pohon rindang menghijau, sejak dua tahun belakangan Budi dibikin gerah dengan persoalan tanah yang menderanya.
Ia pun mencoba mengulas bahwa dirinya menginjakkan kaki di lahan yang saat ini dikuasainya pada tahun 2008. “Tanah ini saya beli dari warga secara over alih garapan seluas 7.111 meter persegi. Saya punya bukti surat over alih garapan yang ditandatangani Kepala Desa, pak Duduh Manduh,” ulasnya.
Sejak saat itu, ia pun mulai melakukan penataan lahan yang awalnya dipenuhi belukar menjadi lebih nyaman dihuni. “Saya bikin bangunan semi permanen, membangun jalan bersama warga kampung di sini. Saya mengolah pertanian juga bersama warga di sini,” ujar Budi.
Pada tahun 2022, Budi tiba-tiba digugat oleh Norman Chen, penggugat yang diketahui menguasai lebih dari dua hektare tanah di lokasi tersebut. Urusan hukum pun berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Cibinong, Kabupaten Bogor.
Di pengadilan terungkap, Norman Chen mengaku memiliki bukti kepemilikan tanah berupa Surat Hak Milik (SHM) Nomor 72 Tahun 1976 yang dikeluarkan BPN Kabupaten Bogor.
“Padahal sepengetahuan saya, tanah di kawasan ini kan eks Hak Guna Usaha (HGU) Comicoi yang berakhir pada tahun 1975. Nah, Norman Chen ini punya SHM tahun 1976. Kok anehnya, secepat itu punya SHM, kurang dari setahun setelah berakhirnya eks HGU,” ungkap Budi diamini Eman, tokoh warga setempat yang saat itu mendampinginya.
Anehnya lagi, timpal Budi, selama proses persidangan berlangsung dirinya tak pernah bisa menghadiri persidangan karena tak pernah mendapat surat undangan atau pemberitahuan.
“Tiba-tiba sudah divonis saja, putusannya bahwa kepemilikan tanah saya fiktif. Akhirnya saya banding ke Pengadilan Tinggi Bandung,” ujarnya.
Proses persidangan hingga vonis di PT Bandung tetap memenangkan Norman Chen.
“Sejak Januari 2024 saya kembali banding ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang belum ada hasilnya. Yang digugat oleh Norman Chen tanah saya seluas 5.000 meter persegi diakui masuk tanah dia dari total tanah saya 7.111 meter persegi,” jelasnya.
Kasus ini ini pun menjadi salah satu perhatian Ketua Komite Indonesia Bebas Mafia Tanah (KIBMA) Bogor Raya, Muhsin.
“Kami menghormati SHM milik Norman Chen sebagai produk hukum dari BPN Kabupaten Bogor. Tapi kami menduga ada sindikasi atas peralihan tanah garapan menjadi SHM yang diduga tidak sesuai aturan hukum agraria,” kata Muhsin, Jumat, 16 Agustus 2024.
“Ini tentu merupakan objek hukum yang menarik untuk dikaji dan dilakukan pendalaman hukum bagaimana lahan garapan itu begitu cepat beralih dan bisa terbit sertifikat kepemilikan dalam waktu kurang dari setahun. Padahal berdasarkan investigasi yang kami lakukan, banyak tahapan dan mekanisme proseduralnya yang cacat,” tandasnya.
Muhsin pun mendesak Kementerian ATR/BPN turun ke Megamendung. “Kementerian ATR/BPN harus turun tangan melihat secara nyata ke lokasi Desa Megamendung. “Kami menemukan banyak kejanggalan dalam kepemilikan tanah di lokasi Desa Megamendung ini, bukan hanya menimpa pak Budi. Informasi yang masuk ke kami juga ada keterlibatan oknum BPN di lokasi ini hingga pernah terjadi penyerobotan lahan milik Perhutani,” sebutnya.
Dijelaskan Muhsin, terkait HGU telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria). Pasal 29 Undang-undang Agraria menjelaskan, HGU dapat diberikan untuk jangka waktu maksimal 25 tahun.
Untuk perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan dengan jangka waktu maksimal 35 tahun. Setelah masa berlaku habis, HGU dapat diperpanjang untuk waktu yang paling lama 25 tahun.
(A.Mul)